Postingan

Menampilkan postingan dari 2018

Stop Comparing

Gambar
Pagi itu rasanya seperti mengalami kekalahan besar. Saat melihat seorang tetangga berangkat kerja dengan baju yang rapi mengendarai mobilnya sendiri. Beliau tersenyum saat menyapa. Ahh... Manisnya. Saya membalas senyumnya tapi seperti ada rasa kecut di dalam hati. Entah apa yang saya rasakan tapi rasanya seperti baru saja mengalami kekalahan besar. Ya... Rasa itu muncul lagi. Rasa betapa tidak berharganya diri. Pagi hari saat orang lain begitu rapi dan terlihat keren berangkat bekerja dengan mengendarai mobil sendiri. Sementara saya, masih bau bawang brambang, kucel berjalan menuju warung untuk membeli bahan memasak yang tidak ada di rumah. Ah... Rasanya sungguh... Entahlah... Sehari sebelumnya, perasaan yang hampir sama juga muncul. Saat itu saya sedang mengikuti kegiatan main anak. Sementara anak-anak bermain, orangtua dikumpulkan tersendiri untuk mengikuti acara sharing kesehatan anak.  Seperti biasa, saat di forum saya akan duduk paling belakang atau dipojokan. Ketika yang lain

Menumbuhkan Empati Pada Anak

Gambar
Sore itu, dari dalam rumah saya mendengar tangisan putri sulungku. Dia berlari ke dalam rumah sambil menangis. "Mama aku ditinggalin mereka", katanya sambil menangis. "Aku jatuh", lanjutnya. "Aku sedih Mama", lanjutnya lagi "Siapa yang tinggalin kamu?", tanya saya "Malika sama teman yang satunya", jawabnya. Rupanya dia menangis bukan karena terjatuh dari sepedanya.  Namun karena saat terjatuh, teman-temannya meninggalkannya. Saya hanya memeluknya tanpa berkata apapun. Lalu dia mendongakkan kepalanya dan berkata lagi, "Mereka tinggalin aku Mama". "Iya Nak", jawab saya. "Raisa sedih ya?", lanjut saya "Iya Mama". Saya peluk dia semakin erat. Perlahan dia mulai melepaskan pelukan saya. Lalu dia mulai mengalihkan ke pembicaraan lain. "Ma ayo sholat ke masjid!". Dan dia pun beranjak mengambil mukenanya dan berlari ke masjid. Ditinggalkan dan meninggalkan adalah hal yang biasa. Seiring waktu

Bersikap Tenang Sebelum Bertindak

Gambar
Siang itu kami pergi ke toko buku. Anak-anak membeli balon warna-warni. Dalam satu bungkus ada warna kuning, merah muda, oranye, biru dan ungu. Saya sampaikan kepada mereka bahwa balon ini untuk bermain bersama-sama. Sesampainya dirumah, saat baru selesai merapikan sepatu diluar. Saya mendengar terjadi keributan antara kakak dan adik. Rupanya mereka sedang memperebutkan balon warna merah muda. Badan kakak menindih badan adik berusaha merebut balon yang sedang dipegang adik. Si Adik menangis seraya tangannya mempertahankan balon merah muda. Saya angkat badan kakak dari badan adiknya, sambil berkata, “Karena buat rebutan, balon nya Mama ambil dulu!”. Saya ambil balon tersebut dan saya simpan ditempat yang tidak bisa mereka jangkau. Keduanya menangis. Akhir-akhir ini kejadian serupa sering terjadi. Hampir setiap hari ada keributan. Kakak si 4 tahun yang suka mengatur dan adik, si 2 tahun yang tidak suka diatur. Berebut mainan, berebut tempat tidur, berebut mama, berebut siapa yang ma

Mengenalkan Ragam Emosi Pada Anak

Gambar
Suatu hari kami berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan. Putri sulungku merengek meminta bermain di play land. Kami menolak permintaannya karena hari sudah sore. Saya sampaikan kepadanya bermain di play land nya tidak hari ini, karena Ayah juga harus bekerja. Putri sulungku terlihat kecewa meskipun dia bisa menerima penolakan kami. Adik ipar yang saat itu ikut berjalan-jalan bersama kami bertanya, Adik Ipar :"Mbak nggak papa ya kayak gitu?" Me :"Maksudnya?" Adik Ipar :"Kan kasihan mbak, dia jadi sedih!" Me :"Nggak papa, asal jujur sampaikan alasan penolakannya". Tugas kita sebagai orangtua, bukan untuk membuat anak selalu senang dan gembira. Pun juga bukan untuk sengaja membuat mereka marah, sedih dan kecewa. Tugas kita adalah mengenalkan "hidup yang sebenarnya". Bahwa dalam kehidupan yang kita jalani sehari-hari, pasti kita akan bertemu dengan rasa senang, sedih, kecewa, dan marah. Saat kita mengajari anak untuk mengenali dan me

Manfaat Bermain Bebas Bagi Anak

Gambar
"Ojo dolanan wae, ayo sinau"! (Jangan hanya bermain, ayo belajar) Kata-kata ini bisa jadi pernah kita dengar, di ucapkan orangtua kepada anaknya atau guru kepada muridnya. Kata-kata tersebut lahir karena adanya rasa bersalah jika kita sebagai orangtua membiarkan anak -anak hanya bermain saja. Karena sebagian kita beranggapan, bermain tidak menghasilkan apapun, tidak ada manfaatnya dan hanya membuang waktu saja. Wujud dari rasa bersalah orangtua di minimalisir dengan menyuruh anak lebih banyak belajar daripada hanya sekedar bermain. Dan belajar pun dimaknai hanya dengan membaca, menulis dan berhitung.  Kita merasa menjadi orangtua yang baik saat bisa mengajarkan sesuatu kepada anak. Padahal dalam bermain ada proses belajar. Bagi anak-anak saat mereka bermain saat itulah mereka belajar. Mereka belajar tentang diri mereka, belajar mengelola emosi, belajar menjalin komunikasi, belajar menjalin hubungan sosial, dan belajar mengatasi tantangan. Bermain yang dimaksudkan disini

Menjadi Ibu, Sarana untuk Memperbaiki Akhlak

Gambar
Setelah kurang lebih 4 tahun 10 bulan menjalani peran sebagai orangtua atau lebih tepatnya ibu, saya merasa bahwa peran ini adalah tentang diri sendiri. Dan ungkapan yang mengatakan bahwa "Musuh terbesar adalah diri kita sendiri" terbukti disini. Bagaimana tidak, menjalani peran ibu sama artinya mengelupas "borok" diri, menguak sisi gelap dan sisi terang diri kita sekaligus.  Benarlah anjuran agama, menikahlah dengan orang yang berakhlak baik. Setidaknya orang yang sudah memiliki akhlaq yang baik akan lebih mudah menjalani perannya sebagai ibu.   Misalnya tentang mengelola emosi, setidaknya orang yang sudah mampu mengelola emosi dengan baik akan jauh lebih mudah menghadapi runsingnya anak-anak setiap hari, cueknya suami atau ketusnya mertua.  Setidaknya saat kondisi tidak sesuai dengan yang diinginkan, ia mampu menahan diri untuk tidak berpikir negatif, marah-marah atau mengomel. Namun, bukan berarti yang belum bisa mengelola emosi menjadi tidak layak untuk m

Belajar menjadi orangtua sepanjang hayat

Gambar
Pelajaran dapat kita peroleh dari siapapun, dari manapun dan kapanpun. Termasuk pelajaran parenting. Setiap keluarga unik dan memiliki pengalamannya masing-masing. Dari setiap keluarga, setidaknya kita bisa mendapat satu pelajaran penting yang bisa kita terapkan dalam keluarga kita. Dan pelajaran - pelajaran parenting ini yang saya dapatkan dari beberapa keluarga saat mudik. Sempat “marah” pada diri sendiri karena tak juga kunjung pintar mengasuh anak meskipun sudah membaca banyak buku. Tak urung membuat saya stres, kecewa dan hampir saja menyerah mendidik dan mengasuh anak-anak sendiri. “Menyerah” dalam artian “Ya sudahlah sebisanya saja, nggak usah aneh-aneh, apa adanya saja”. Terombang - ambing dalam berbagai macam teori pendidikan dan parenting. Yang ini bilang baik, yang sana bilang ini lebih baik. Baiknya ini, baiknya itu. Yang seperti itu salah, baiknya ini. Rasanya apa yang saya lakukan kok gak bener-bener, ada aja kurangnya. Pun ditambah kok saya juga belum bisa “memperlak

Menjadi Berbeda Memang Tidak Mudah

Gambar
Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah liburan panjang. Saya mengira tahun ini akan turut dalam euforia tersebut karena satu pekan yang lalu sempat galau antara mau menyekolahkan Raisa atau tidak. Raisa saat ini berusia 4,7 tahun, yang menurut beberapa orang adalah usia yang tepat untuk masuk TK. Kenapa sempat galau? Karena beberapa kali baik saat mudik atau silaturahmi atau saat bertemu tetangga, Raisa mendapat pertanyaan, “Sudah sekolah ya?”, “Sekolah dimana? “. Tak urung hal tersebut membuat Raisa “ ngegeri ” minta sekolah. Rengekannya tak urung juga membuat saya galau. Antara ingin menyekolahkannya atau sekolah di rumah saja. Antara percaya diri dan tidak percaya diri menjalani homeschooling . Akhirnya setelah berdiskusi panjang dengan suami dan berusaha refleksi mengukur kemampuan bersama serta mengingat kembali  visi dan misi pendidikan keluarga kami  Bismillah, akhirnya kami putuskan untuk tidak menyekolahkan nya dulu saat ini. Pertanyaan, Raisa kelas ber