Stop Comparing


Pagi itu rasanya seperti mengalami kekalahan besar. Saat melihat seorang tetangga berangkat kerja dengan baju yang rapi mengendarai mobilnya sendiri. Beliau tersenyum saat menyapa. Ahh... Manisnya. Saya membalas senyumnya tapi seperti ada rasa kecut di dalam hati. Entah apa yang saya rasakan tapi rasanya seperti baru saja mengalami kekalahan besar. Ya... Rasa itu muncul lagi.
Rasa betapa tidak berharganya diri.

Pagi hari saat orang lain begitu rapi dan terlihat keren berangkat bekerja dengan mengendarai mobil sendiri. Sementara saya, masih bau bawang brambang, kucel berjalan menuju warung untuk membeli bahan memasak yang tidak ada di rumah. Ah... Rasanya sungguh... Entahlah...

Sehari sebelumnya, perasaan yang hampir sama juga muncul. Saat itu saya sedang mengikuti kegiatan main anak. Sementara anak-anak bermain, orangtua dikumpulkan tersendiri untuk mengikuti acara sharing kesehatan anak.  Seperti biasa, saat di forum saya akan duduk paling belakang atau dipojokan. Ketika yang lain mengajukan pertanyaan saya hanya diam. Karena memang tidak ada yang ingin saya tanyakan. Pertanyaan saya sudah diwakili oleh peserta yang lain. Ada rasa entah apa namanya yang saya rasakan, saat melihat ibu narasumber menyampaikan materi dengan lihainya. Juga, saat teman-teman yang begitu fasih bercerita pengalamannya. Dan, saya masih terdiam. Ah... Betapa hebatnya mereka berbicara pengalamannya.
Perasaan itu muncul kembali...
Perasaan bahwa ternyata aku "receh" banget, tidak ada pengalaman inspiratif yang bisa aku bagikan. Ternyata aku masih bodoh sekali.

Dua peristiwa yang terjadi  dua hari berurutan itu, membuat hati saya gelisah, galau, sedih dan merasa sangat terpuruk. Sampai siang ini saya menemukan sebuah tulisan Pak Jamil Zaini yang mau tidak mau membuat saya introspeksi diri. Sungguh, Allah Maha Baik.

Stop Comparing. Begitulah judul artikel tersebut.
Berhenti membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Ya... ini yang masih sering saya lupakan, membandingkan diri sendiri dengan orang lain dalam bentuk yang berbeda-beda. Diri saya yang di rumah dengan tetangga yang berkarier di luar rumah. Anak saya yang kurus dengan anak orang lain yang gemuk. Saya yang pandai berangan-angan dengan orang lain yang sudah produktif. Merasa kalah, tidak percaya diri, minder adalah penyakit hati yang muncul karena saya membandingkan hidup saya dengan orang lain.

Saya lupa bahwa setiap orang unik, memiliki pengalaman hidup, pemikiran, perasaan, dan tujuan hidup yang berbeda-beda. Masing-masing orang memiliki ciri khas yang berbeda meskipun sama-sama manusia makhluk ciptaan Allah. Karena, Allah memang menciptakan hamba-Nya tidak ada yang sama satu  lain. Bahkan anak kembar sekalipun pasti memiliki perbedaan. Seperti halnya buah jeruk yang berasal dari satu pohon sekalipun, rasanya pasti berbeda satu dengan yang lain. Tidak pernah ada yang sama persis. Jadi, sangat tidak masuk akal jika membandingkan satu orang dengan yang lainnya.

Stop Comparing. Memang tidak mudah, karena kadang hal tersebut terjadi secara otomatis saat melihat orang lain. Butuh waktu, energi dan latihan panjang untuk menghentikannya. Dan berikut ini, formula yang disarankan Pak Jamil Azzaini.

Pertama, Self Acceptance
Menerima diri kita apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tugas kita adalah fokus mengasah kelebihan yang telah Allah anugerahkan kepada kita. Gunakan 80 persen waktu untuk mengasah kelebihan dan 20 persen untuk mengurangi kelemahan. Saat kita fokus pada kelebihan, akan muncul rasa percaya diri. Tingkat kepercayaan diri yang tinggi membuat kita jauh lebih produktif.
Sebaliknya, ketika kita fokus pada kelemahan, akan muncul rasa tidak percaya diri. Akibatnya diri semakin terpuruk, merasa tidak berguna dan hanya berkubang pada masalah tanpa mencari solusi.

Kedua, menguatkan keyakinan bahwa saya adalah produk spesial dari Allah SWT.
Allah memberikan kelebihan dan kekuatan khusus untuk saya. Tugas saya adalah menemukan dan mengasahnya. Memanfaatkannya di jalan Allah semata-mata untuk beribadah Kepada-Nya. It’s ok jika saya memilih berkarya di rumah, tapi saya harus memastikan tetap produktif. It’s oke saya pemalu, tapi saya harus memastikan tetap berkarya meskipun tidak harus show up dan terus berlatih untuk percaya diri berbicara di depan umum.

Ketiga, mensyukuri berbagai nikmat.
Allah memberikan nikmat kepada saya setiap hari. Bangun pagi dengan sehat,  bernapas dengan mudah, tubuh yang kuat untuk melakukan berbagai aktivitas, menikmati kebersamaan bersama keluarga, tetangga yang baik dan masih banyak lagi. Semua adalah karunia Allah yang harus disyukuri. Bersyukur  membuat saya semakin bahagia. Mengingatkan betapa Allah begitu sayang kepada saya. Tugas saya setiap hari adalah menemukan nikmat-nikmat-Nya dan selalu bersyukur atasnya.

Tiga formula diatas harus selalu saya ingat, untuk menghilangkan kebiasaan membandingkan diri sendiri dengan orang lain. Agar hidup lebih bahagia dan semakin produktif, bermanfaat bagi sesama.
Kudus, 30 November 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keinginan vs Kebutuhan

Sudahkah Memeluk Anak Hari Ini?

Belajar Berhitung 1 -5