Limiting Belief dan Cara Mengubahnya

Seringkali kita memberi label pada diri kita sendiri maupun orang lain untuk memberi “makna" atas diri kita atau orang lain. Dan sayangnya seringkali label yang kita sematkan adalah label yang bersifat negatif. Misalnya, anakku tu anak yang rewel, aku itu ibu yang pemarah, suamiku itu suami yang nggak perhatian, temenku itu pemalas, tetanggaku itu tukang gosip, adikku itu tukang tidur.


Label-label negatif itulah yang disebut Limiting belief atau keyakinan yang tidak memberdayakan. Dalam bukunya Enlightening Parenting, Okina fitriani menyebutkan bahwa “meskipun keyakinan tersebut mampu ditahan untuk tidak dikeluarkan, tetapi keyakinan itu tersimpan dalam pikiran dan perasaan kita yang kemudian muncul dalam bentuk self talk sehingga menghasilkan respons khas yang langsung dari bawah sadar. Misalnya saat seseorang meyakini bahwa dia itu pemarah, dia akan merasa memang begitulah sifatnya dan tidak dapat diubah sehingga menjadi pembenaran bagi dirinya saat marah-marah kepada orang lain. Begitupun jika orangtua yang meyakini bahwa anaknya kurang fokus dalam melakukan sesuatu sehingga respon orangtua akan marah dan menjadi tidak sabar saat melihat anak agak lama memakai sepatu atau baju.

Masih menurut Okina, Limiting belief sangat merugikan dan akan membuat seseorang terjebak dalam reaksi itu-itu saja, masalah kita akan berputar seolah tak berujung. Akibatnya kita merasa tidak mampu berubah atau mencapai sesuatu. Mudah putus asa, tidak berdaya dan menyalahkan keadaan.

Hal ini yang coba saya praktekkan dalam memulai memperbaiki diri, yaitu merubah Limiting belief yang telah saya sematkan baik pada diri sendiri, anak-anak maupun pasangan.

Saya misalnya, memiliki Limiting belief sebagai orang yang pemarah, mudah tersulut emosi dan sumbu pendek. Selama ini saya meyakini bahwa emosi itu nggak boleh dipendam, jadi ketidakenakaan hati harus tetap diungkapkan. Nah, salahnya pengungkapannya dalam bentuk marah-marah dan mengomel berharap setelah mengeluarkan isi hati akan lebih lega. Padahal kenyataannya enggak sama sekali. Inilah yang sedang ingin saya rubah bahwa keyakinan itu salah. Benar bahwa kita tidak boleh memendam emosi tetapi cara mengungkapkannya harus dengan benar, dan tidak menyakiti siapapun.

Bagaimana caranya merubah Limiting belief?

Masih menurut buku EP, caranya dengan mengurai informasi sehingga terlihat detailnya. Cara ini dilakukan dengan menilai kembali kenyataan sebenarnya dari sebuah kejadian.

Misal, saya ingin sekali berhenti dari kebiasaan marah-marah dan mengomel, tetapi karena saya merasa diri saya pemarah, maka sulit bagi saya melihat kemungkinan bahwa saya bisa berubah menjadi penyabar.

Selanjutnya, saya akan mencacah informasi mengenai pemarah ini dengan menjawab pertanyaan dibawah ini.

Berapa hari dalam sepekan saya marah?
Andaikan setiap hari, berapa jam dalam sehari saya marah?
Andaikan setiap jam, berapa menit dalam sehari saya marah?
Ha...ha...baiklah nggak mungkin kan setiap menit marah, memang robot pemarah???
Saya akan jawab dulu pertanyaannya. Setiap hari mungkin memang terlewat tanpa marah meskipun itu hanya sekali, dua kali, tiga kali (whattt???). Namun itu juga tidak terjadi setiap jam. Saya marah hanya pada waktu-waktu tertentu. Itupun juga nggak lama, paling lama 5 menit (mengomel 5 menit itu lama sekali lho…). Katakanlah maksimal sehari saya marah 6 kali x 5 menit = 30 menit. Padahal dalam sehari ada 24 jam dikurangi waktu tidur 8 jam (he...he…nggak mungkin kan tidur marah dan mengomel). Sisanya 16 jam, jadi waktuku marah hanya 3% dari seluruh waktuku dalam sehari. Jadi sebetulnya terlalu kejam jika saya menyebut diri sebagai seorang pemarah karena 97% waktu saya gunakan untuk hal lain selain marah dan mengomel. Saya tinggal memperbaiki 3% saja dari waktu yang saya miliki untuk tidak marah dan menjadi orang yang sabar. Tinggal latihan lagi...lagi...dan lagi…

Hal itu juga saya lakukan pada anak dan suami. Misalnya, “Anakku yang sulung itu kurang bisa fokus". Saat diminta makan dengan duduk tenang misalnya, sulitnya minta ampun, ada saja yang dilakukannya sambil makan. Saat berpakaian, mandi, memakai sepatu selalu karena diselingi melakukan hal yang lain. Padahal bisa jadi sesuai dengan usia rentang perhatiannya memang masih singkat. Anak umur 4 tahun yang memang baru bisa fokus maksimal 4 menit. Itu juga tidak terjadi setiap waktu, saat lauknya cocok ya dia bisa makan sendiri dengan fokus. Saat dia sudah ditunggu temannya, dia juga bisa bersegera memakai baju. Jadi, sangat tidak adil jika saya memberinya label anak yang kurang fokus. Karena dia juga bisa sangat fokus bermenit-menit saat bermain pasir, air, atau bercengkrama bersama teman-temannya.

Hal yang sama juga saya lakukan pada pasangan. Saat saya memiliki Limiting belief padanya, maka saya mencoba mencacah informasi mengenai “label" yang saya sematkan. Begitupun kepada teman, kerabat maupun tetangga. Dengan mengubah “Limiting belief", saya merasa lebih mudah dalam mengelola emosi. Setidaknya ini adalah langkah awal berubah menjadi pribadi yang baik dengan berprasangka baik pada diri sendiri maupun orang lain.
Kudus, 20 Mei 2018

#Day
#Odopfor99days2018
#Selftherapy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keinginan vs Kebutuhan

Sudahkah Memeluk Anak Hari Ini?

Belajar Berhitung 1 -5