Mengharapkan yang jauh, melupakan yang dekat

"Berpikir positif adalah sumber kekuatan dan sumber kebebasan. Disebut sumber kekuatan karena ia membantu Anda memikirkan solusi sampai mendapatkannya. Dengan begitu Anda bertambah mahir, percaya dan kuat. Disebut sumber kebebasan karena dengannya Anda akan terbebas dari penderitaan dan kungkungan pikiran negatif serta pengaruhnya pada fisik"' (Dr. Ibrahim Elfiky)

Salah satu tradisi orang kudus saat ada bayi lahir adalah memberikan souvenir (balenan) bagi tamu yang datang menjenguk bayi. Pagi itu, sekalian jalan2 di CFD kami mampir sebentar ke salah satu supermarket yang ada di alun2 untuk melihat2. Ternyata pas kebetulan ada diskon barang pecah belah di supermarket tersebut. Karena HPL sudah dekat, kami putuskan untuk sekalian membeli souvenir untuk kelahiran bayi kami nanti. Akhirnya setelah menghitung jumlah kira2 tamu yang datang, mulai tetangga sampai teman2 suami, jadilah kami membeli mangkuk sebagai souvenir.

 Tiba2 mata saya tertuju pada gelas kekinian atau yang biasa disebut jar, bagus dan unik bentuknya menurut saya. Saya pikir bagus juga nih untuk souvenir. Karena kebetulan harganya juga diskon, saya mulai merajuk pada suami :"Ayah, beli gelas ini ya...untuk teman2ku yang semarang, pasti mereka datang pas lahiran adik, ya..yah ya!". Jurus senyum manis dan rayuan maut saya keluarkan, alhamdulillah berhasil...berhasil...berhasil. Setelah suami meminta saya menghitung jumlah teman saya yang kira2 datang, akhirnya kami membeli gelas itu, sekalian dilebihkan jumlahnya untuk dipakai sendiri.

Akhirnya hari itu datang, saat kelahiran putri kedua kami yang sehat dan cantik. Tetangga dan teman2 suami berdatangan untuk memberikan selamat. Hari demi hari...bulan demi bulan...saya tunggu ternyata teman2 saya tidak ada yang datang. Sedih sekali rasanya, bukan kado yang saya harapkan tapi kehadiran sebagai bentuk bahwa saya masih diakui sebagai teman itu yang saya harapkan. Perasaan ditinggalkan, dilupakan menggelayuti pikiran dan hati saya. Bagaimana bisa teman2 melupakanku, apa salahku sampai mereka tidak lagi menghiraukanku. Dan sampai pada akhirnya seiring waktu saya melupakan rasa sedih itu.

Sampai suatu ketika kami bersih2, dan saya menemukan kardus berisi gelas2 yang saya sisihkan untuk teman2 saya. Suami mengetahui hal itu dan mulai meledek saya, "he..he..mana temanmu gak ada yang kesini kan?"' Spontan saya berteriak manjaaah: "ayah...jangan gitu tho aku jadi sedih lagi ni!". Suami hanya tertawa. "Iya ya yah...kenapa ya temen2ku gak ada yang kesini, aku wis dilupakan yo yah?". Suami dengan ringan menjawab :"lha menurutmu main ke sini itu gak butuh waktu, gak butuh duit...berapa uang untuk sewa mobil, bayar sopir, iya khan?". Saya tertegun, tidak pernah sedikit pun terpikirkan hal itu, selama ini saya hanya memikirkan perasaan saya saja, tidak memikirkan bagaimana kerepotan teman2.

Astagfirullah...jadi selama ini saya terbelenggu oleh pikiran2 negatif saya sendiri, pikiran egois yang hanya memikirkan diri sendiri. Bisa jadi teman2 tidak melupakanku tapi mereka memang tidak ada keluangan untuk datang kerumah kami. Atau kalaupun mereka sudah melupakanku, sudah tidak menganggapku ada lagi, juga wajar kan, wong saya juga sudah bukan bagian mereka lagi.

Perkataan suami terngiang2 sampai beberapa hari, sampai saya menyadari bahwa selama ini ternyata saya hanya memikirkan yang tidak ada dan lupa bersyukur yang sudah ada.
Saya lupa bersyukur bahwa ada begitu banyak tetangga dan teman yang bahkan tidak kami kira datang, mereka datang. Saya lupa bersyukur bahwa hampir setiap sore ada mbah tin (tetangga yang masih saudara) selalu datang membantu menggendong atau memangku adik sementara saya mandi.
Saya lupa bersyukur ada mamata (teman yang sudah saya anggap adik) setiap akhir pekan selalu datang untuk menghibur Raisa dengan cerita dan nyanyiannya.
 Saya lupa bersyukur ada titi (adik ipar) yang selalu siap sedia membantu menjaga Raisa sementara saya mengerjakan pekerjaan rumah.
Saya lupa bersyukur ada mbah kung (bapakku) yang selalu memasak untuk kami sementara aku belum bisa masak karena masih pemulihan.
Saya lupa bersyukur ada Raisa yang selalu memeluk saat saya sedih, membuat saya tersenyum dengan tingkah polahnya.
Saya lupa bersyukur ada Ayah (suami tercintakuuh) yang selalu menyediakan lengannya untukku bersandar, telinganya untuk mendengarkan ocehanku, dompetnya untuk memenuhi kebutuhanku, dan kerelaan hatinya untuk menerimaku apa adanya.
Saya lupa bersyukur ada orang2 yang begitu dekat, yang Allah kirimkan untukku, untuk berbagi kasih dan sayangnya untukku. Sejak itu saya belajar untuk selalu bersyukur dengan apa yang sudah Allah berikan, bukan apa yang tidak atau belum Allah berikan. Maturnuwun pembelajarannya teman-teman. I will always remember you...in sha Allah.
Kudus, 19 April 2017

#thepowerofberpikirpositif
#selfchallenge
#menulis4terapijiwa

Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang malah nampak..heee

    BalasHapus
  3. Gajah di pelupuk mata tak nampak, semut di seberang malah nampak..heee

    BalasHapus
  4. Gajah dipelupuk mata tak nampak, semut diseberang lautan mampak...hee

    BalasHapus
  5. He..he..kalau kamu termasuk semutnya ta....semut gede

    BalasHapus
  6. Selamat y mb..mungkin saking sibuknya pikiran qt thdp diri qt sendiri sehingga lupa bersyukur. Walaupun q jauh mau keluarga tapi ada tetangga yg spt saudara...alhamdulillah y mb.Allah membuat qt bersaudara dg caraNya yg sering tdk qt pahami

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keinginan vs Kebutuhan

Sudahkah Memeluk Anak Hari Ini?

Belajar Berhitung 1 -5