Anger Manajement


Mulutmu harimau mu, ungkapan itu benar banget. Dan saya merasa sedih sekali, kenapa setiap kali marah saya belum bisa mengontrol kata-kata yang keluar dari mulut saya. Yah...saya masih berkutat dengan anger management. Entahlah...2 hari ini saya merasa kesulitan mengontrol emosi saya, padahal ini bulan puasa.

Setiap kali marah, ada dorongan dalam diriku untuk mengatakan apa yang kurasakan. Aku ingin orang yang aku marahi tahu kenapa aku marah.  Di satu sisi ini bagus, agar tidak ada emosi yang kupendam. Tapi di sisi lain, kata-kata yang keluar dari mulut sulit sekali dikontrol.

 Dan sayangnya, lontaran emosi kemarahan itu hanya bisa aku ungkapkan kepada orang-orang terdekatku saja, semisal suami, anak, bapak, dan sahabat terdekat. Contohnya beberapa hari yang lalu, saat membeli bakso. Entah kenapa mbak penjual bakso ini lama sekali melayani saya, hampir 30 menit untuk pesanan bakso yang tidak seberapa. Usut punya usut ternyata dia menggabungkan pelayanan saya dengan orang yang baru saja beli bakso, dengan pesanan bakso yang lumayan banyak. Saat mengetahui itu, saya langsung merasa jengkel dan marah, saya merasa harusnya dia menyelesaikan melayani saya dulu baru melayani pembeli baru. Spontan saya langsung istiqfar, tapi emosi saya masih juga belum reda. Akhirnya saya berbicara agak keras dengan tujuan agar di dengar mbak penjual bakso, "kok lama ya baksonya. Saat itu, sebenarnya saya ingin menegur dan berbicara langsung dengannya, namun entah kenapa saya tidak melakukannya. Di perjalanan pulang bahkan sampai rumah saya masih merasa marah dan jengkel, padahal saya sudah istiqfar berulang kali. Bahkan sampai terbawa mimpi, hati saya tidak tenang, saya merasa menyesal tidak mengungkapkan rasa kesal saya kepada mbak penjual bakso. Harusnya saya mengungkapkannya, supaya saya lega dan supaya lain kali dia bisa memberikan pelayanan yang lebih baik lagi.

 Lain halnya bila saya marah dengan orang-orang terdekat saya, saya bisa langsung mengungkapkan rasa kesal dan kecewa pada mereka tidak perduli mereka suka atau tidak, diungkapkan langsung atau melalui WA. Mungkin karena saya sudah merasa nyaman dengan mereka. Tapi tetap saja, setelah itu saya masih tidak tenang dan seringkali menyesal karena telah menyakiti hati orang -orang terdekat.

Tampaknya saya memang harus belajar caranya asertif bukan malah menjadi agresif. Dan ini beberapa cara yang saya praktekkan :

1. Tenang
Saya harus menenangkan diri terlebih dahulu. Tarik napas, duduk diam sambil istiqfar di dalam hati. Menahan diri sekuat-kuatnya untuk tidak melontarkan kata-kata apapun. Karena saat dalam kondisi marah saya tidak akan mampu mengontrol kata-kata yang keluar dari mulut. Jadi pertama-tama saya harus membuat diri saya tenang.

2. Bertanya kepada diri sendiri, apa yang membuat saya marah
Setelah tenang, saya bisa lebih objektif melihat masalah dengan bertanya kepada diri sendiri, apa yang sesungguhnya terjadi, dan kenapa hal itu membuat saya marah. Kenyataan apa yang melatarbelakanginya atau hanya persepsi saya saja. Misalnya saja ketika anak pup dicelana,

3. Mengungkapkan dengan baik dan santun
Menurut saya tetap penting mengungkapkan rasa marah, jengkel dan kecewa kepada orang lain. Selain agar perasaan menjadi lega, juga agar orang lain tahu kesalahannya dan bisa memperbaikinya. Tentu cara mengungkapkannya harus dengan bahasa yang baik dan santun. Kalau hati dan diri sudah tenang, saya yakin ini mampu dilakukan. Inilah yang membedakan antara asertif dan agresif.

Kemarahah hanya akan membuat saya "sakit" dan orang yang saya marahi juga "sakit". Latihan mengendalikan emosi dengan berusaha bersikap tenang pada awalnya menjadi cara yang jitu untuk saya. Masih butuh latihan...latihan...dan latihan...semoga Allah permudah. Aamiin.
Kudus, 12 Agustus 2017

#odopfor99days32
#latepost

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keinginan vs Kebutuhan

Sudahkah Memeluk Anak Hari Ini?

Belajar Berhitung 1 -5